Program Kerja Terdekat BEM POLSRI 2010-2011


1. Sosialisasi Undang-undang Tata Tertib Lalu Lintas
2. Peringatan Hari Ibu Ke Panti Jompo dan Aksi
3. Penanaman Pohon

Waktu Pelaksanaan: 21, 22 dan 29 Desember 2010
Tempat: Aula KPA POLSRI, Panti Jompo dan Jaka Baring Palembang

Sosialisasi Ke Jurusan akan dimulai Hari Kamis 22 Desember 2010

Minggu, 02 Januari 2011

Apatisme Politik Mahasiswa

PREDIKAT mahasiswa sungguh mengagumkan. Ia memiliki posisi strategis dalam strata sosial. Mahasiswa memiliki peran signifikan dalam menentukan arah bangsa. Sebagai representasi masyarakat bawah, mahasiswa senantiasa memperjuangkan demokrasi dan menjadi oposisi bagi kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat.
Segala kejanggalan, pelanggaran, dan ketidakadilan adalah ranah yang senantiasa didobrak mahasiswa. Segala bentuk perlawanan mahasiswa lebih untuk mengoreksi dan mengontrol perilaku politik penguasa yang menyimpang. Karena itulah, peranan mahasiswa urgen di tengah masyarakat.

Sejarah perjalanan bangsa mencatat hamper sebagian besar perubahan sosial dipicu dan dipelopori mahasiswa. Gerakan mahasiswa tahun 1998, misalnya, merupakan salah satu pendobrak bagi kebebasan sipil politik yang tersandera selama 32 tahun sekaligus menjadi salah satu penentu fondasi demokrasi di Indonesia.

Berbagai persoalan yang melilit bangsa saat itu mendorong mahasiswa untuk melakukan usaha perubahan sosial. Mahasiswa menjadi ”panglima” di garda depan dalam memerangi rezim Orde Baru. Hasilnya, dinasti yang selama tiga dasawarsa hampir tak tergoyahkan itu pun tumbang.

Spirit yang menjunjung tingi idealisme dapat menyatupadukan berbagai elemen masyarakat dalam satu visi reformasi. Membentuk tatanan baru yang memberi harapan bagi rakyat untuk bisa merasakan udara segar kebebasan dan menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik. Mahasiswa berhasil membangun kesadaran kolektif pada masyarakat untuk membentuk satu lapisan kekuatan. Momen itu kemudian berkembang menjadi gerakan bersama menuntut perubahan di segala lini, khususnya pemerintahan. Kekuatan mahasiswa paling ditakuti saat itu.

Namun kita tidak perlu bernostalgia dalam romantisme sejarah. Prestasi yang ditorehkan mahasiswa itu adalah milik dan hasil perjuangan mereka. Patutkah kita berbagga atas predikat director of change? Ah, itu hanya gelar nenek moyang kita yang diraih dengan keringat darah dan air mata. Bukan lagi kita, saat ini, jika tak mampu melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat.

Mahasiswa kini tak lagi bertaring. Gerakannya ”melempem”. Gaung suara mahasiswa tak lagi nyaring dan hanya menyisakan bisikan yang nyaris tak terdengar di telinga penguasa. Peranan mahasiswa mandul dalam mengawal demokrasi dan menjadi oposisi kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Sebagai perpanjangan aspirasi rakyat, mahasiswa gagal mempertahankan kredibilitas. Sebaliknya, stigma yang kian lekat menimbulkan krisis kepercayaan di mata masyarakat.
Kondisi Parah Dilihat dari kompleksitas permasalahan, kondisi Tanah Air saat ini tak sama parah dengan kondisi 1998. Pelanggaran hak asasi manusia, pelecehan demokrasi, ketidakadilan, korupsi, dan berbagai bentuk ketimpangan lain tak mampu menggerakkan nurani mahasiswa untuk sadar dan melakukan usaha konkret: mengadakan perubahan sosial.

Di manakah gerangan mahasiswa tatkala rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok mahal, biaya pendidikan melambung, dan warga menjadi korban ledakan gas subsidi pemerintah? Di mana mahasiswa, saat hukum suci negara dipermainkan dan digadaikan dengan uang korupsi? Di mana ”aktor lakon” mahasiswa tatkala drama teaterikal Century diputar? Mereka hanya menjadi penonton yang ”duduk manis” di depan layar, menyaksikan ”tragedi rakyat Indonesia”.

Dalam merespons persoalan bangsa yang kronis saat ini, mahasiswa cenderung apatis. Bahkan berkesan ”adem ayem”. Apatisme mahasiswa ditandai dengan keminiman aksi dan reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang menyeleweng. Suara mahasiswa masih terdengar sayup. Kalaupun ada, aksi itu lebih bersifat sektarian dan sporadis sehingga mental dan tak berarti apa-apa. Atau, ada aksi jika ada kepentingan elite politik yang menunggangi. Idealisme digadaikan, kepentingan rakyat dikorbankan. Kenyataan itu membuat mahasiswa makin kehilangan arah dan mengalami disorientasi.

Kini saatnya mahasiswa dibangunkan. Terlalu lama mereka tertidur sehingga tak bisa menyaksikan kenyataan. Buka mata, lebarkan telinga, dan bersuara agar mampu menangkap dan merespons beragam fenomena ganjil di negeri ini. Spirit yang melesu perlu digairahkan kembali. Mahasiswa harus menemukan jati diri kembali. Menjunjung idealisme, membentuk kesadaran kolektif, membangun opini publik untuk bersatu padu menjadi mesin oposisi yang kuat bagi kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat. (51)

MAHASISWA, PERGURUAN TINGGI DAN REFORMASI

Saat ini, era Reformasi sudah berlangsung lebih dari satu dasawarsa, selama kurun waktu tersebut perjalanan menuju kearah sebagaimana yang menjadi tujuan awal reformasi seakan-alan kehilangan arah, kedamaian semakin menjauh, hal ini dapat terlihat dengan kerap terjadinya berbagai bentuk benturan baik fisik maupun non fisik di Indonesia yang katanya dikenal dengan penduduknya yang sopan dan ramah. Perang antar suku, perang antar desa, bahkan pertikaian antar daerahpun masih sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia yang tidak jarang berakhir dengan kerusuhan berdarah. Degradasi moral yang ditandai dengan semakin mewabahnya penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) melanda hampir disetiap lembaga khususnya lembaga pemerintah seperti kasus Bank Century, kasus makelar pajak yang telah menyeret banyak pejabat diberbagai institusi termasuk di Direktorat jenderal pajak, kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain menjadi bukti nyata yang dapat dilihat dengan mata telanjang betapa bobroknya pengelolaan negeri ini.

Saat ini kehidupan masyarakat semakin materialistis serta lebih mengutamakan perjuangan untuk kepentingan individu dan kelompok yang semakin menempatkan rakyat dan bangsa Indonesia pada suatu status kehidupan yang sangat rendah. Secara obyektif kita sedang menjadi bangsa yang inferior jika dibandingkan dengan tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura atau negara-negara lain di dunia. Rasa bangga sebagai anak negeri dari sebuah negara yang dulunya cukup disegani didunia telah terkikis oleh krisis multidimensional dan kebobrokan kehidupan mental dan moral yang menyeruak dihampir setiap sendi kehidupan. Rasa nasionalisme sebagai bangsa dan jiwa patriotisme seakan sudah semakin memudar sehingga status quo Orde Baru terkesan tidak berubah, bahkan terlihat semakin bertahan atau bisa jadi semakin parah yang disebabkan oleh keserakahan dan gaya kehidupan yang hanya ingat diri, ingat keluarga dan ingat kelompok.

Reformasi seakan berjalan semakin menjauh dari tujuan yang telah didengungkan sekitar 12 tahun lalu, ego kedaerahan semakin muncul kepermukaan dengan membonceng suatu kereta yang bernama otonomi daerah. Raja-raja kecil muncul di segenap wilayah Indonesia. Kekuasaan dan kepemimpinan di berbagai daerah seakan-akan menjadi milik dinasti keluarga yang ditandai dengan banyaknya istri atau anak para Gubernur, Bupati ataupun Walikota yang dengan berbagai upaya berusaha merebut jabatan sebagai kepala daerah untuk menggantikan suami atau ayahnya. Partai-partai politik sibuk mengurus kekuasaan dan telah melupakan tujuan utamanya untuk mensejahterakan masyarakat. Barangkali ada baiknya kita menentukan atau merumuskan kembali jati diri kita sebagai bangsa, sumpah Pemuda yang dicetuskan 82 tahun yang lalu ada baiknya dikaji kembali, apakah masih relevankah saat ini.

Reformasi yang awalnya memang milik mahasiswa, yang lahir sebagai salah satu hasil pembelajaran diperguruan tinggi sekarang telah dikudeta oleh Elit Politik. Namun itu semua tidak sepenuhnya kesalahan elit. Tetapi justru mahasiswa dan institusinya yaitu perguruan tinggi juga mempunyai andil terhadap kesalahan tersebut, karena belum sepenuhnya berhasil menciptakan insan-insan kampus, kader-kader intelektual yang mampu mengejahwantakan apa yang sebenarnya diperlukan oleh negeri ini.

Perguruan tinggi sebagai wadah pembelajaran, sebagai tempat penggodokan para intelektual, bukan hanya dituntut untuk mampu mengelolah input atau mahasiswa yang ada menjadi lulusan yang hanya tangguh secara akademik, tetapi yang lebih penting dari itu adalah menghasilkan lulusan sebagai insan yang berpotensi tinggi, inisiatif dan kreatif serta penuh dedikasi atau sumber daya manusia yang unggul, profesional, beriman dan berwibawa, mampu memimpin serta berwawasan kedepan. Perguruan tinggi harus mampu membimbing mahasiswanya menjadi insan yang peka terhadap persoalan-persoalan yang membelit bangsanya.

Kematangan sebuah Perguruan Tinggi bukanlah dilihat dari usianya, tetapi harus dilihat dari kesanggupan untuk bisa memenuhi dan mewujudkan secara nyata tanggung jawab kelembagaan kepada masyarakat. Akreditasi yang baik bukan hanya ditentukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, tetapi juga ditentukan oleh publik atau yang lebih dikenal dengan Akuntability Publik. Perguruan tinggi harus mampu menjadi lembaga penyelenggaraan pendidikan tinggi yang sanggup mengantarkan lulusannya memiliki kemampuan untuk dapat diterima dan berkiprah ditengah masyarakat.

Dalam penyelenggaraan pendidikan atau pembelajaran dalam suatu perguruan tinggi diperlukan pengelolah yang mampu mengelolah input yang ada menjadi output yang memang bisa diandalkan. Menurut Freire, para akademisi yang bekerja di lembaga pendidikan tinggi tidak bisa melepaskan diri dari 3 hal: (1) memahami relasi antara pendidikan tinggi, kekuasaan dan politik, (2) mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, ini penting karena tanpa mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, dunia pendidikan tinggi akan tetap menjadi suatu komunitas yang terlepas dari persoalan masyarakat yang semestinya harus menjadi keprihatinannya, (3) menyadari kemampuan kelas dominan mempopulerkan kata-kata yang sering menjadi slogan kelompok revolusioner.

Sejarah pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru, dari orde baru ke era reformasi menunjukkan peran sentral mahasiswa sebagai agen perubahan. Oleh karena itu mahasiswa dan perguruan tinggi dengan idealismenya harus terus berusaha untuk mengawal reformasi. Supaya apa yang menjadi tujuan semula dari reformasi ini dapat kembali berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, sehingga pengorbanan para mahasiswa yang tewas dalam tragedi trisakti tidak menjadi sia-sia.

Sabtu, 11 Desember 2010

MAHASISWA INDONESIA DALAM CUPLIKAN SEBUAH SEJARAH


Begitulah, masanya selalu momentum dan terkadang latah. Saat itu mereka akan angkat tubuh dari kursi-kursi kelas yang kaku dan keluar dari ruang-ruang kampus yang pengap untuk menasbihkan diri menjadi simbol perlawanan..”

TAHUN 1908 – 1928 – 1945, deret masa yang tercatat emas dalam tinta sejarah negeri. Budi Utomo memulai pergerakan dengan berbasis pendidikan untuk pemuda. Tahun ini (walaupun bukanlah embrio pertama kalinya) telah cukup untuk meletakkan sebuah dasar bagi perjuangan melawan penjajahan dengan metode yang lebih berbobot dan terdidik. Berlanjut ke tahun 1928, ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan oleh para pemuda Indonesia yang intinya menyatakan persatuan seluruh rakyat yang antikolonial. Lalu 1945, pemuda-pemuda mendorong para politisi muda seperti Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Peristiwa Rengasdengklok hampir menyebut semua tokoh dibalik ‘penculikan bersejarah’ ini adalah pemuda.

Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang akhirnya melahirkan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian nanti telah berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Akbar Tanjung, Cosmas Batubara Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi, dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Tahun 1966, dianggap momen sejarah yang gemilang bagi mahasiswa Indonesia karena berhasil menggulingkan kekuasaan Soekarno.

Waktu terus berjalan dan masa Orde Baru bertakhta di awal 70-an. Namun, seperti lazimnya sebuah kekuasaan politik militer, tidak berapa lama berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD. Disamping itu, pengekangan dan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat dan bersuara pun dilakukan lewat berbagai peraturan dan intimidasi-intimidasi.

Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan. Akhirnya pada 1974 dan 1978, mahasiswa mulai “merongrong” kekuasaan Orde Baru. Jika rentang waktu awal 60-an sampai awal rezim Orde Baru mahasiswa berjibaku dengan agenda politik praktis dan ideologi yang sangat vulgar yang berafiliasi pada partai, maka memasuki 1980-an, mahasiswa mulai aktif terlibat di basis rakyat sebagai garis massa yang independen. Mereka lebih menyuarakan pesan-pesan sosial dan perlawanan akan rezim penguasa.

*******

Mahasiswa takut sama Dosen
Dosen takut sama Rektor
Rektor takut sama Menteri
Menteri takut sama Presiden
Presiden takut sama Mahasiswa

-Taufik Ismail-


Tahun 80-an dan 90-an adalah refleksi sebuah ‘perjuangan bawah tanah’ bagi para mahasiswa. Gerbong kelompok yang disusun dalam sebuah tekanan politik rezim penguasa yang begitu kuat dan sistematis. Namun seperti semangat waktu-waktu yang berlalu, pembredelan yang kuat malah membuat rantai perlawanan semakin kokoh. Hingga akhirnya mahasiswa menemukan tanggalnya pada Mei 1998. Aksi besar (parlemen jalanan) pun pecah. Karena kenaikan harga-harga, inflasi yang tinggi, dan kematian beberapa mahasiswa Trisakti, jumlah mahasiswa yang menggugat membesar dan mulai menduduki gedung MPR/DPR. Penguasa tak mampu membendung dan Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998.

Akan tetapi, ada yang menarik dan terus menjadi perdebatan di kalangan aktivis mahasiswa. Gerakan yang lahir dari dalam kampus dan luar kampus itu terus-menerus menjadi tim pemukul. Tetapi, hasil pukulan mereka kembali teredam ketika muncul pihak lain yang mengambil alih kekuasaan. Mahasiswa berperan sebagai gerakan pemukul sejak 1908 sampai 1998. Aksi mahasiswa yang banyak menelan korban luka-luka dan meninggal itu, nantinya selalu terpatahkan oleh kekuatan kelompok lain.

Menjelang pemilu tahun 2004, aktivis mahasiswa mulai dihadapkan pada wacana untuk meneruskan agenda politiknya dengan memasuki partai politik. Namun, ada beberapa lainnya yang tetap bertahan di garis massa; buruh, petani, dan nelayan. Sedangkan mahasiswa-mahasiswa yang ‘terjebak’ di kampus terus bergerak ke sana kemari merespons persoalan-persoalan politik nasional dengan latah. Gerakannya timbul tenggelam bergantung pada isu-isu di media massa. Meski bergerak, mahasiswa tidak pernah mengambil peran dari kekuasaan. Revolusi Paris 1968 telah memberikan bukti itu ketika ribuan mahasiswa pada Mei 1968 berhasil menguasai Paris, namun membiarkan partai politik mengambil keuntungan dari gerakan mereka.

*******

…………………
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
…………………

-Chairil Anwar-


Gerakan mahasiswa saat ini masih dianggap ‘tertidur’. Mahasiswa terjebak pada simbol-simbol yang kaku. Aksi mahasiswa senantiasa dikaitkan dengan parlemen jalanan saja dan akan diansumsikan membuat macet. Mahasiswa di kampus pun telah terpecah belah dalam beberapa kepentingan dan golongan. Mahasiswa seharusnya membaca kembali sejarahnya sendiri. Merangkumnya tidaklah dengan kacamata kuda. Bukan latah membuat ulangan sejarah, tetapi untuk membuat sejarah baru sebab masa depan tetaplah akan berpijak dari hari ini. Menghidupkan jaringan dan mengasah kepekaan tidak mesti dengan turun kejalan saja. Tapi menghidupkan ‘kelas’ dengan dikusi yang lebih ber-visi dan variatif untuk berbagai solusi tentang masalah-masalah yang dihadapi.


SEMINAR KEPUTRIAN BEM POLSRI

waduh... da lama gak buka neh blog..!! maff..maaf admin ny sibuk sech..wwkwkwkwk..!!

emmm kali ini ada info seru neh..!

tahun ini BEM POLSRI kembali mengadakan acara khusus buat kaum perempuan, yang pasti untuk tahun ini konsep acara yang bakal kita geber pada tanggal 19 desember 2010 pasti bakal seruuu abiss..!! ya dunk pastinya buat kamu semua para perumpuan bisa nge-gaoel di acara ini. selain acara yg bakal kita kemas secara menarik, acara ini juga bakal di isi dengan seminar mengenai kecantikan dan juga kesehatan pada wanita.emmm bukan BEM POLSRI namanya klo gak buat kejutan yg sngat menarik..!! jangan lupa juga acara yg pada tahun ini mengangkat tema "PESONA WANITA, MASA DEPAN DUNIA" ini kita buat se-kota Palembang loh, jadi pasti acaranya bakal rame abiis. So buruan gabung di acara kita ya...!! kamu bisa daftarin diri kamu langsung di sekretariatan BEM POLSRI dan yang pastinya tanpa dipunggut biaya alias free..!!

Selasa, 26 Oktober 2010

Sejarah Pergerakan Mahasiswa dan Relevansinya Terhadap Peradaban Bangsa

Mahasiswa merupakan salah satu elemen penting dalam setiap episode panjang perjalanan bangsa ini. Hal ini tentu saja sangat beralasan mengingat bagaimana pentingnya peran mahasiswa yang selalu menjadi aktor perubahan dalam setiap momen - momen bersejarah di Indonesia. Sejarah telah banyak mencatat, dari mulai munculnya Kebangkitan Nasional hingga Tragedi 1998, mahasiswa selalu menjadi garda terdepan. Beberapa tahun belakangan ini telah banyak tercatat bahwa sudah beberapa kali mahasiswa menancapkan taji intelektualitasnya secara aplikatif dalam memajukan peradaban bangsa ini dari masa penjajahan Belanda, Masa Penjajahan Jepang, Masa Pemberontakan PKI, Masa Orde Lama, Hingga Masa orde baru, peran mahasiswa tidak pernah absen dalam catatan peristiwa penting tersebut.

1908




Dalam Sejarah peradaban bangsa Indonesia, ada beberapa catatan peristiwa yang layak kita pandang sebagai awal mula pergerakan mahasiswa di tanah air. Pergerakan tersebut bermula pada tahun 1908. Pada masa itu,mahasiswa - mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA mendirikan sebuah wadah pergerakan pertama di Indonesia yang bernama Boedi Oetomo, dimana organisasi ini didirikan di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908. Wadah ini merupakan bentuk sikap kritis mahasiswa tersebut terhadap sistem kolonialisme Belanda yang menurut mereka sudah selayaknya dilawan dan rakyat harus dibebaskan dari bentuk penguasaan terhadap sumber daya alam yang dilakukan oleh penjajah terhadap bangsa ini, walaupun terkesan gerakan yang mereka lakukan masih menunjukkan sifat primordialisme Jawa. Organisasi ini berdiri berawal dari kegiatan akademis berupa diskusi rutin di perpustakaan STOVIA yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa Indonesia yang belajar di STOVIA antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Melalui diskusi itulah mahasiswa - mahasiswa tersebut mulai memikirkan nasib masyarakat Indonesia yang makin memprihatinkan ditengah kondisi penjajahan dan selalu dianggap bodoh oleh Belanda, disamping itu diperparah dengan kondisi para pejabat pemerintahan pada saat itu dari kalangan pribumi (pangreh praja) yang justru makin menindas rakyatnya demi kepentingan pribadi dan kelanggengan jabatannya, seperti menarik pajak yang tingi terhadap rakyat untuk menarik simpati atasan dan pemerintahan Belanda.
Selain itu, pada tahun 1908 ini juga, mahasiswa Indonesia yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi di Belanda yaitu Drs. Mhd. Hatta mendirikan organisasi Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging pada tahun 1922. Organisasi ini awalnya merupakan suatu wadah kelompok diskusi mahasiswa yang kemudian orientasi pergerakannya lebih jelas dalam hal politik. Misi nasionalisme yang ditunjukkan organisasi ini lebih jelas dipertajam dengan bergantinya nama organisasi ini menjadi Perhimpunan Indonesia. Melalui majalah Indonesia Merdeka, mereka yang tergabung dalam organisasi ini mulai gesit dalam melancarkan propaganda pergerakannya, sudah banyak artikel yang dimuat dalam majalah tersebut yang mengkritisi bagaimana kondisi bangsa pada saat itu, sampai muncul statement yang mengatakan bahwa sudah saatnya Bangsa Indonesia tidak menyebut negaranya dengan sebutan Hindia Belanda. Termasuk dalam majalah tersebut memuat tulisan yang disebut manifesto 1925 yang isinya antara lain:
1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri;
2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun dan;
3. Tanpa persatuan kukuh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai.

Selain itu, masih ada organisasi pemuda mahasiswa yang lain seperti Indische Partij yang secara radikal menyuarakan kemerdekaan Indonesia,selain itu ada juga Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang arah pergerakan politiknya lebih condong ke ideologi nasionalisme demokratik yang berlandaskan Islam. Yang perlu kita catat dalam sejarah kemahasiswaan periode ini adalah ketika insiatif beberapa mahasiswa pada tahun 1908 tersebut telah memunculkan sebuah momentum bersejarah yang diperingati setiap tahun sebagai hari kebangkitan nasional yang jatuh pada saat Boedi Oetomo didirikan. Momentum inilah yang telah menjadi batu loncatan awal bagi setiap pergerakan bangsa di tahun - tahun berikutnya.

1928




Sejarah berlanjut pada periode berikutnya di tahun 1928. Pada awalnya, mahasiswa di Surabaya yang bernama Soetomo pada tanggal 19 oktober 1924 mendirikan Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club). Di tempat yang berbeda, oleh Soekarno dan kawan - kawannya dari Sekoleah Tinggi Teknik (ITB) di Bandung beriniisiatif untuk mendirikan Kelompok Studi Umum (Algemeene Studi Club) pada tanggal 11 Juli 1925. Pembentukan kedua kelompok diskusi ini merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap perkembangan pergerakan politik mahasiswa yang semakin tumpul pada masa itu.
Kemudian pada tahun 1926, terbentuklah organisasi Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) yang merupakan organisasi yang berusaha untuk menghimpun seluruh mahasiswa di Indonesia dan lebih menyuarakan yang namanya wawasan kebangsaan dalam diri mahasiswa. Hal tersebut lah yang kemudian mereka realisasikan dengan menyelenggarakan sebuah kongres paling bersejarah dalam dunia kepemudaan mahasiswa di tanah air. Yaitu Kongres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928 yang kemudian menghasilkan sumpah pemuda yang sangat bersejarah tersebut.

1945
Periode ini merupakan periode yang sangat penting dalam sejarah bangsa Indonesia, peran pemuda mahasiswa juga tidak lepas dan terlihat sangat vital dalam mewujudkan suatu misi besar bangsa Indonesia pada saat itu yaitu melepaskan diri dari belenggu pejajahan atau merebut kemerdekaan. Kondisi pergerakan mahasiswa pada saat itu tidak semudah pada periode - perode sebelumnya. Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik, dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan. Dan secara praktis, akhirnya mahasiswa - mahasiswa pada saat itu mulai menurunkan intensitas pergerakannya dan lebih mengerucutkannya dalam bentuk kelompok diskusi. Yang berbeda pada masa tersebut adalah, mahasiswa - mahasiswa pada waktu itu lebih memilih untuk menjadikan asrama mereka sebagai markas pergerakan. Dimana terdapat 3 asrama yang terkenal dalam mencetak tokoh - tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah, yaitu asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Melalui diskusi di asrama inilah kemudian lahir tokoh - tokoh yang nantinya bakal menjadi motor penggerak penting munculnya kemerdekaan bangsa Indonesia. Tokoh - tokoh tersebut secara radikal dan melalui pergerakan bawah tanah melakukan desakan kepada Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan setelah melalui radio mereka mendengar bahwa telah terjadi insiden bom atom di Jepang, dan mereka berpikir bahwa inilah saat yang tepat untuk mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Mahasiswa - mahasiswa yang terdiri dari Soekarni dan Chairul Saleh inilah yang akhirnya terpaksa menculik tokoh proklamator tersebut sampai ke Rengasdengklok agar lebih memberikan tekanan kepada mereka untuk lebih cepat dalam memproklamasikan kemerdekaan. Peristiwa inilah yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai peristiwa Rengasdengklok.

1966

Pada masa setelah kemerdekaan, mulai bermunculan secara bersamaan organisasi - organisasi mahasiswa di berbagai kampus. Berawal dari munculnya organisasi mahasiswa yang dibentuk oleh beberapa mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (STI) di Yogyakarta, yang dimotori oleh Lafran Pane dengan mendirikan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada tanggal 5 Februari 1947. Organisasi ini dibentuk sebagai wadah pergerakan mahasiswa yang dilatarbelakangi oleh 4 faktor utama yang meliputi Situasi Dunia Internasional, Situasi NKRI, Kondisi Mikrobiologis Ummat Islam di Indonesia, Kondisi Perguruan Tinggi dan Dunia Kemahasiswaan. Selain itu pada tahun yang sama, dibentuk pulalah Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI) yang didirikan melalui kongres mahasiswa di Malang. Lalu pada waktu yang berikutnya didirikan juga organisasi - organisasi mahasiswa yang lain seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berhaluan pada ideologi Marhaenisme Soekarno, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GAMSOS) yang lebih cenderung ke ideologi Sosialisme Marxist, dan Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang lebih berpandangan komunisme sehingga cenderung lebih dekat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia).Sebagai imbas daripada kemenangan PKI pada pemilu tahun 1955, organisasi CGMI cenderung lebih menonjol dibandingkan dengan organisasi - organisasi mahasiswa lainnya. Namun justru hal inilah yang menjadi cikal bakal perpecahan pergerakan mahasiswa pada saat itu yang disebabkan karena adanya kecenderungan CGMI terhadap PKI yang tentu saja dipenuhi oleh kepentingan - kepentingan politik PKI. Secara frontal CGMI menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi - organisasi mahasiswa lainnya terutama dengan organisasi HMI yang lebih berazazkan Islam. Berbagai bentuk propaganda politik pencitraan negatif terus dibombardir oleh CGMI dan PKI kepada HMI, beberapa bentuk propaganda yang mereka wujudkan yaitu salah satunya melalui artikel surat kabar yang berjudul Quo Vadis HMI. Perseturuan antara CGMI dan HMI semakin memanas ketika CGMI berhasil merebut beberapa jabatan di organisasi PPMI dan juga GMNI, terlebih setelah diadakannya kongres mahasiswa V tahun 1961.
Atas beberapa serangan yang terus menerus dilakukan oleh pihak PKI dan CGMI terhadap beberapa organisasi mahasiswa yang secara ideologi bertentangan dengan mereka, akhirnya beberapa organisasi mahasiswa yang terdiri dari HMI, GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), PMKRI, PMII, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI), mereka sepakat untuk membentuk KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Dimana tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan. Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Berawal dari semangat kolektifitas mahasiswa secara nasional inilah perjuangan mahasiswa yang dikenal sebagai gerakan angkatan '66 inilah yang kemudian mulai melakukan penentangan terhadap PKI dan ideologi komunisnya yang mereka anggap sebagai bahaya laten negara dan harus segera dibasmi dari bumi nusantara. Namun sayangnya, di tengah semangat idealisme mahasiswa pada saat itu ada saja godaan datang kepada mereka yang pada akhirnya melunturkan idealisme perjuangan mereka, dimana setelah masa orde lama berakhir, mereka yang dulunya berjuang untuk menruntuhkan PKI mendapatkan hadiah oleh pemerintah yang sedang berkuasa dengan disediakan kursi MPR dan DPR serta diangkat menjadi pejabat pemerintahan oleh penguasa orde baru. Namun di tengah gelombang peruntuhan idealime mahasiswa tersebut, ternyata ada sesosok mahasiswa yang sangat dikenal idealimenya hingga saat ini dan sampai sekarang tetap menjadi panutan para aktivis - aktivis mahasiswa di Indonesia, yaitu Soe Hok Gie. Ada seuntai kalimat inspiratif yang dituturkan oleh Soe Hok Gie yang sampai sekarang menjadi inspirasi perjuangan mahasiswa di Indonesia, secara lantang ia mengatakan kepada kawan - kawan seperjuangannya yang telah berbelok idealimenya dengan kalimat "lebih baik terasingkan daripada hidup dalam kemunafikan".

1974
Periode ini sangat berbeda sekali dengan periode sebelumnya di tahun 1966, dimana pada masa pergerakan mahasiswa tahun 1966 mahasiswa melakukan afiliasi dengan pihak militer dalam menumpas PKI. Pada periode 1974 ini, mahasiswa justru berkonfrontasi dengan pihak militer yang mereka anggap telah menjadi alat penindas bagi rakyat. Gelombang perlawanan bermula sejak dinaikkannya harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dianggap meneyengsarakan rakyat. Selain itu, isu pemberantasan korupsi juga dengan lantang digalakkan oleh mahasiswa yang mendesak agar pemerintah lebih tegas dalam menjerat koruptor yang terdiri dari pejabat - pejabat pemerintahan saat itu. Melalui pergerakan inilah muncul suatu gerakan yang disebut "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori oleh Arif Budiman dan Hariman Siregar yang menyuarakan isu korupsi dan kenaikan BBM. Menyusul pergerakan mahasiswa yang terus meluas, secara inisisatif mahasiswa membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo.
Namun ketika kebusukan - kebusukan rezim pemerintahan orde baru terus mencuat di permukaan, dengan serta merta pemerintah melakukan berbagai rekayasa politik guna meredam protes massa dan mempertahankan status quo, terlebih menjelang pemilu tahun 1971.
Namun hal tersebut tidak juga berhasil dalam meredam gelombang protes mahasiswa, secara bersama - sama, masyarakat dan mahasiswa terus melancarkan sikap ketidakpercayan mereka terhadap 9 partai politik dan Golongan Karya yang selama ini menjadi wadah aspirasi politik mereka dengan munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971. Dimana gerakan ini dimotori oleh Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan, dan Arif Budiman. Selain itu mahasiswa juga melancarkan kritik kepada pemerintah yang telah melakukan pemborosan anggaran negara dengan melakukan beberapa proyek eksklusif yang dinilai tidak perlu untuk pembangunan. Salah satunya adalah dengan mendirikan Taman Mini Indonesia Indah, yang sebenarnya proyek - proyek tersebut dijadikan alasan bagi Indonesia untuk terus - menerus menyerap hutang terhadap pihak luar negeri.
Gelombang Protes semakin meledak ketika harga barang kebutuhan semakin melambung dan budaya korupsi di kalangan pejabat pemerintah semakin menular, gelombang protes inilah yang memunculkan suatu gerakan yang dikenal dengan nama peristiwa Malari pada tahun 1974 yang dimotori oleh Hariman Siregar. Melalui gerakan tersebut lahirlah Tritura Baru selain daripada 2 tuntutan yaitu Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga.

Periode NKK/BKK
Pada masa inilah pergerakan mahasiswa mulai dimatikan peran dan fungsinya oleh pemerintah, yaitu sejak terpilihnya Soeharto untuk yang ketiga kalinya melalui Pemilihan Umum. Maka guna meredam sikap ktiris mahasiswa terhadap pemerintah dan untuk mempertahankan status quo pemerintahan maka dikeluarkanlah Kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) melalui SK No.0156/U/1978. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul diadakannya konsep NKK tersebut maka pemerintah melakukan tindakan pembekuan terhadap beberapa organisasi Dewan Mahasiswa di beberapa kampus di Indonesia yang kemudian diganti dengan membentuk struktur organisasi baru yang disebut Badan Koordinasi Kampus (BKK). Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi. Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Sehingga praktis, kondisi kehidupan mahasiswa dalam melakukan pergerakan politik menjadi lumpuh. Yang kemudian akhirnya menyebabkan mahasiswa hanya fokus ke urusan akademis dan menjadi apatis. Terlebih lagi dengan munculnya beberapa organisasi kemasyarakatan yang pada saat itu justru menjadi alat kepentingan politik pemerintah. Sehingga tidak heran pada saat itu kondisi rezim semakin kuat dan tegak.

1998



Namun pengekangan terhadap mahasiswa melalui NKK/BKK tidak bertahan lama. Gejolak krisis moneter di seluruh dunia telah membuat kondisi perekonomian di Indonesia terguncang hebat. Hal tersebut ditandai dengan menaiknya angka tukar rupiah terhadap dolar yang menembus Rp 17.000/Dolar. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan masyarakat Indonesia, khususnya mahasiswa yang akhirnya animo pergerakannya mulai bangkit setelah sebelumnya mengalami mati suri yang cukup panjang. Dimulai ketika pada saat 20 mahasiswa UI yang mendatangi gedung MPR/DPR RI denga tegas menolak pidato pertanggungjawaban presiden yang disampaikan melalui sidang umum MPR dan menyerahkan agenda reformasi nasional kepada MPR. Kondisi Indonesia semakin tegang sejak harga BBM melonjak naik hingga 71% yang ditandai dengan beberapa kerusuhan yang terjadi di Medan yang setidaknya telah memakan 6 korban jiwa. Kegaduhan berlanjut pada tanggal 7 Mei dan 8 Mei. Yaitu peristiwa cimanggis,dimana pada saat itu telah terjadi bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan di kampus Fakultas Teknik Universitas Jayabaya, Cimanggis, yang mengakibatkan sedikitnya 52 mahasiswa dibawa ke RS Tugu Ibu, Cimanggis. Dua di antaranya terkena tembakan di leher dan lengan kanan, sedangkan sisanya cedera akibat pentungan rotan dan mengalami iritasi mata akibat gas air mata, Kemudian peristiwa Gejayan di Yogyakarta yang telah merenggut nyawa 1 orang mahasiswa.
Hal tersebut tentu saja makin membuat panas situasi antara mahasiswa dan pemerintah, terutama terhadap militer yang mereka anggap telah berbuat semena-mena terhadap mahasiswa yang berdemonstrasi. Demonstrasi besar-besaran yang dilakukan oleh mahasiswa pun akhirnya semakin merebak dan meluas. Di Jakarta sendiri, ribuan mahasiswa telah berhasil menduduki gedung MPR/DPR RI pada tanggal 19 Mei 1998. Atas berbagai tekanan yang terjadi itulah akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00, presiden RI pada saat itu, yaitu Soeharto resmi mengundurkan diri, dan kemudian menyerahkan jabatannya ke wakil presidennya yaitu Prof.BJ Habibie.
Namun hal tersebut tidak serta merta membuat masyarakat puas, karena mereka masih menganggap bahwa Habibie merupakan antek orde baru. Peristiwa terus berlanjut hingga menjelang akhir tahun, yaitu ketika sidang istimewa MPR digelar pada bulan November. Mahasiswa terus melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Habibie yang masih mereka anggap sebagai regenerasi Orde Baru, dan menyatakan sikap ketidakpercayaan terhadap anggota MPR/DPR RI yang masih berbau orde baru. Selain itu mereka juga mendesak agar militer dibersihkan dari kegiatan politik dan menentang dwifungsi ABRI. Sepanjang diadakannya Sidang Istimewa itu masyarakat bergabung dengan mahasiswa setiap hari melakukan demonstrasi ke jalan-jalan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Peristiwa ini mendapat perhatian sangat besar dari seluruh Indonesia dan dunia internasional. Hampir seluruh sekolah dan universitas di Jakarta, tempat diadakannya Sidang Istimewa tersebut, diliburkan untuk mencegah mahasiswa berkumpul. Apapun yang dilakukan oleh mahasiswa mendapat perhatian ekstra ketat dari pimpinan universitas masing-masing karena mereka di bawah tekanan aparat yang tidak menghendaki aksi mahasiswa. Aksi perlawanan terus bergejolak dan ketika itulah tragedi ini bermula. Yaitu ketika beberapa aksi mahasiswa tersebut dihadang oleh pihak militer yang bersenjata api lengkap dengan kendaraan lapis baja mereka. Usaha militer untuk membubarkan mahasiswa telah mengakibatkan bentrok yang cukup hebat, usaha tersebut diwarnai dengan beberapa tembakan senjata yang dilakukan oleh aparat terhadap mahasiswa secara membabi buta guna membubarkan massa. Alhasil, Tindakan membabi buta yang dilakukan pihak militer pada saat itu telah menyebabkan 17 orang meninggal dunia, dan ratuan lainnya luka berat. Korban meninggal dan luka-luka tidak hanya memakan nyawa mahasiswa saja, mulai dari tim relawan kemanusiaan, wartawan, dan masyarakat juga ikut menjadi korban, termasuk anak kecil yang masih berusia 6 tahun tewas tertembak peluru nyasar.
Peristiwa reformasi inilah yang kemudian menjadi catatan kelam negeri ini, yang telah menumpahkan darah mereka-mereka yang ingin berjuang untuk negeri. Yang juga menjadi titik pencerahan baru bagi perubahan Indonesia di masa selanjutnya. Dimana kebebasan dalam menyampaikan aspirasi dan kebebasan pers yang sebelumnya tidak dijumpai pada masa orde baru kembali diperoleh oleh masyarakat di negeri ini. Namun, ada 1 agenda reformasi yang sampai sekarang belum bisa terwujudkan yaitu pemberantasan korupsi yang hingga kini masih menjadi wabah berbahaya bagi stabilitas negara.

Mahasiswa Sebagai Penancap Tombak Peradaban
Peradaban bangsa ini semakin mengalami perubahan adalah tak lain karena ada peran pemuda mahasiswa di dalamnya. Catatan sejarah tersebut setidaknya telah menjadi bukti bahwa mahasiswa selalu menempatkan diri dalam setiap perubahan historik dan patriotik di negeri ini. Mengapa Harus Mahasiswa???
Berdasarkan karakterisitik alamiahnya, pemuda mahasiswa memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan elemen - elemen masyarakat lainnya. Sebagai seorang yang memiliki jiwa muda, mahasiswa merupakan sesosok figur yang bisa dikatakan memiliki karakter yang masih memiliki idealisme yang tinggi dalam berjuang, mereka tidak segan - segan untuk menyuarakan kekesalan dan kritik mereka terhadap siapapun yang mereka anggap menyimpang dari kondisi ideal. Mahasiswa merupakan sosok insan akademis yang sedang menjalankan aktifitas pendidikan yang terbilang tinggi sehingga mereka beranggapan bahwa ilmu yang mereka dapatkan merupakan sebuah senjata pamungkas untuk mengabdikan diri ke masyarakat. Mahasiswa juga dikenal kreatif dalam membangun ilmu yang didapatkannya serta mengaplikasikannya ke masyarakat karena secara biologis pemuda masih memiliki kondisi yang fresh untuk berpikir dan bertindak secara fisik. Mahasiswa sebagai pemuda juga memiliki keingintahuan dan sikap kritis yang tinggi terhadap kondisi di sekitarnya, dan dengan modal intelektualitas yang ia punya ia senantiasa mampu untuk memperjuangkan kondisi sosial yang dilihatnya agar menjadi lebih ideal dan dinamis.
Pada kesimpulannya, mahasiswa memiliki 3 modal dasar yang membuat ia mampu disebut sebagai agent of change (agen perubahan) dan agent of social control (agen pengawas sosial) yaitu kekuatan moralnya dalam berjuang karena pada intinya apa yang ia buat adalah semata - mata berlandaskan pada gerakan moral yang menjadi idealismenya dalam berjuang, yang kedua adalah kekuatan intelektualitasnya, melalui ilmu pengetahuan yang ia raih di bangku pendidikan, ia senantiasa ingin mengaplikasiakan segenap keilmuannya untuk gerakan moral dan pengabdian kepada masyarakat, karena baginya ilmu merupakan suatu amanah dan tanggung jawab yang harus diamalkan, yang ketiga adalah mahasiswa sebagai seorang pemuda memiliki semangat dan jiwa muda yang merupakan karakter alami yang pasti dimiliki oleh setiap pemuda secara biologis, dimana melingkupi kekuatan otak dan fisik yang bisa dikatakan maksimal, lalu kratifitas, responsifitas, serta keaktifannya dalam membuat inovasi yang sesuai dengan bidang keilmuannya.
Mungkin hal - hal inilah yang menjadi faktor utama mengapa pemuda mahasiswa yang selalu menjadi aktor peradaban dan tulang punggung perjuangan bangsa dalam membangun peradabanya, bahkan seorang Soekarno juga mengakui kemampuan yang dimiliki pemuda mahasiswa tersebut melalui statementnya "berikan aku sepuluh pemuda, maka akan aku guncang dunia". Dan memang begitu lah kenyataannya dan fakta yang tidak bisa ditolak oleh siapapun perihal tinta emas yang telah digoreskan oleh pemuda mahasiswa dimanapun dia berada.
Mungkin sejarah gerakan mahasiswa ini layaknyalah kita jadikan sebagai bahan refleksi kita semua khususnya yang sekarang menjadi seorang mahasiswa bahwa inilah sebenarnya peran dan tanggung jawab kita sebagai pemuda mahasiswa yang telah ditunjukkan oleh para pendahulu kita yang sudah terlebih dahulu menancapkan tombak perubahannya di negeri ini. Lantas kita yang seharusnya melanjutkan perjuangan mereka harus bagaimana???
apakah sejarah ini layak kita sia-siakan dengan keapatisan kita selama ini??
Sudah saatnya pemuda mahasiswa saat ini mulai bangun dari tidur panjangnya, mana semangat pemuda mahasiswa tahun 1908, 1928, 1945, 1966, sampai 1998 yang sempat mengguncang Indonesia tersebut???
mari kita renungkan sama-sama dan kita ciptakan sejarah kita yang nantinya bakal menjadi tinta emas peradaban bangsa kita yang semakin terpuruk ini.

HIDUP MAHASISWA!!!!
HIDUP RAKYAT!!!!






Transformasi Gerakan Mahasiswa Dalam Membangun Peradaban Bangsa

Bangsa ini sedang berada pada persimpangan sejarah. Sedang kebingungan ke mana akan melangkah. Bangsa ini perlu ada yang memandu. Bangsa ini terkesampingkan maknanya. Kebanyakan generasi muda inteleknya lebih senang berhura-hura, malas berpikir dan berdiskusi, tidak serius belajar serta terlanjur terjerumus dalam manuver modernisasi yang membuat mereka menjadi kaum oportunis. Mereka adalah manusia yang dididik agar menjadi intelektual yang kontributif, mampu mamahami permasalahan di sekitarnya, kemudian menganalisis serta memformulasikan solusi masalah tersebut dalam bentuk nyata. Tapi apa daya. Definisi tak selaras dengan implementasi. Mereka belum mampu membuat harapan bangsa ini menjadi kenyataan yang lebih baik dari sebelumnya. Kebanyakan mereka tidak memaknai peran yang diemban, posisi di mana mereka berada, serta fungsinya di mata masyarakat. Hanya lebih menonjolkan individualisme yang demikian melambung. Mereka adalah anak manusia yang di dadanya menyandang label MAHASISWA. Generasi–yang katanya–harapan bangsa.

Apa arti kata MAHA di depan kata SISWA?

Pertanyaannya sekarang. Ke manakah para pemuda intelektual terdidik saat ini? Ke manakah para penerus cita-cita bangsa di zaman ini? Di mana kemandirian mereka selaku pengemban amanah rakyat? Mana kegarangan teriakan mahasiswa yang telah meruntuhkan Kerajaan 32 tahun Soeharto?

Jawabannya mungkin bisa terpuaskan jika kita berkeliling kota malam ini. Nongkrong di mall, berkumpul di simpang jalan dengan sekumpulan motor beserta teman-temannya, berdesakkan di konser musik, bersesak-sesak mengantri di loket peluncuran album sebuah grup band, dan berpeluh-peluh keringat di pub sambil menghabiskan dua botol bir.

Mungkin tidak semua. Tapi itulah kenyataannya kini. Gaung hedonisme sudah tak bisa lagi dibendung oleh antibodi idealitas semangat antikemapanan. Dampak negatif globalisasi seakan menghujam deras dalam alur pikiran mereka. Membuat dangkal kreativitas dan menumpulkan kemandirian. Sayangnya zaman ini membuat mereka condong pada satu pilihan yang mengerdilkan intelektualnya.

Sebagai insan akademis yang selalu mencari kebenaran ilmiah, mahasiswa selalu diharapkan mampu memahami keberadaannya berlandas pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma merupakan misi yang diembankan masyarakat kepada perguruan tinggi di mana mahasiswa berada di dalamnya dan mendukung tercapainya misi tersebut. Maka inilah mengapa mahasiswa memiliki power untuk menunjukkan arti kata ‘maha’ di depan kata ‘siswa’

Mahasiswa selalu memiliki kemandirian lebih dalam konteks ia memandang hidupnya. Sebagai kelas minoritas yang memiliki kelebihan pikiran dan waktu luang, mahasiswa kerap muncul sebagai pelopor gerakan perlawanan atau perbaikan terhadap kondisi ketidakidealan masyarakat. Gerakan ini dilandasi oleh kesadaran moral, tanggung jawab intelektual, serta pengabdian sosial. Kesadaran inilah yang dulu diyakini membuat mahasiswa memiliki bergaining position di negara ini.

Menyibak Sejarah Pergerakan Mahasiswa

Banyak pergerakan yang dibangun oleh mahasiswa telah melahirkan perubahan di negara ini atau setidaknya apa yang mereka perjuangkan telah melahirkan cetak sejarah bagi bangsa. Pergerakan mahasiswa yang dibangun di negeri ini dulu telah membuat bangsa ini kaya akan sejarah. Mereka menyadari bahwa kebutuhan rakyat saat itu menjadi demikian penting untuk mereka bahas dan cari solusinya. Wujud nyata dari perjuangan mereka dalam menumbuhkan kepedulian terhadap rakyat, membuat mereka menjadi kaum yang kritis, reaktif terhadap ketidakadilan, dan kontrol terhadap jalannya berdemokrasi di negara ini.

Pada zamannya pergerakan mahasiswa di berbagai negara telah melahirkan gejolak sosial yang sangat memberikan pengaruh pada situasi dan wacana pergerakan mahasiswa di berbagai negara lainnya. Demikian juga di Indonesia. Pergerakan mahasiswa di Bolivia, Argentina, Korsel, Filipina, Cina, Iran, dan negara lainnya telah menularkan semangat pergerakan pada mahasiswa Indonesia kala itu. Baik pada masa kebangkitan nasional (1908), masa inisiasi persatuan (1928), masa perjuangan kemerdekaan (1945), masa pergolakan kemerdekaan (1966), dan terakhir masa perjuangan reformasi (1998). Selain pada masa itu, pergerakan mahasiswa telah melahirkan peristiwa sejarah yang sangat dikenang. Di antaranya ada peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) dan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus) pada tahun 1978 di ITB sebagai tindakan represif penguasa saat itu terhadap diterbitkannya ‘Buku Putih Perjuangan Mahasiswa Indonesia’ yang terkenal dengan nama “Gerakan Anti kebodohan”. Dari semua akumulasi perjuangan generasi muda intelekual Indonesia telah banyak agenda yang telah dihasilkan dimulai dari masa kebangkitan nasional yang berhasil menyadarkan rakyat bahwa Indonesia harus bangkit dan melawan terhadap segala bentuk kolonialisasi yang ada. Hasil dari masa ini adalah berdirinya Boedi Oetomo sebagai organisasi formal pertama yang didirikan oleh kaum muda pribumi yang intelek. Pada masa inisiasi persatuan (1928) telah melahirkan sumpah pemuda yang intinya menginginkan adanya komponen-komponen yang dapat membentuk sebuah bangsa terwujud. Tahun 1945 mahasiswa selain bertugas untuk menuntut ilmu, mereka juga disadarkan untuk peduli dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa. Banyak mahasiswa yang terlibat pada masa ini, dan hasil yang diperoleh adalah sangat fenomenal (dan mahasiswa saat itu mengambil peran yang cukup besar juga), yaitu kemerdekaan Indonesia. Pada tahun 1966 lahirlah Tritura (Tri Tuntutan Rakyat) di mana di sana mahasiswalah yang menjadi pelopor. Puncaknya dan peristiwa yang paling fenomenal adalah pada tahun 1998. Generasi inilah yang berani menggulirkan semangat reformasi. Pada masa ini marak terjadi aksi-aksi penumbangan rezim orde baru.

Pada masa itu orientasi dan arah gerakan mahasiswa telahlah jelas. Mereka telah memiliki visi bersama untuk bergerak dan berani melahirkan kepedulian terhadap penderitaan rakyat saat itu. Kesadaran dan kekritisan adalah sikap yang sangat dasar untuk dibangun dalam karakter mereka. Atas dasar menjadi bagian dari masyarakat, mereka bergerak. Maka pada masa itu terkenallah dengan sebutan aktivis. Semua aktivis itu dicetak dengan pola kaderisasi yang rapi melalui kelompok-kelompok studi warisan para seniornya. Mereka dibekali dengan pemikiran dan wacana sosial politik yang berkembang sambil digugah untuk melakukan perlawanan terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitar mereka.

Atas dasar itulah sikap kepemimpinan yang mereka bangun. Budaya berdiskusi sangat kental sekaligus fokus dan mengena yang terjadi pada masa itu. Wacana sosial yang dikembangkan sedemikian rupa sehingga membuat mereka menyadari keberadaan mereka sebagai insan akademis yang selalu memakai kaidah kebenaran ilmiah. Penanaman nilai yang dilakukan adalah bagaimana mereka mewujudkan kepedulian mereka. Dengan basic pola kaderisasi dan penanaman nilai, mereka telah membuat sendiri perspektif kepemimpinan menurut mereka. Tak perlu dipungkiri bahwa gerakan yang mereka bangun telah ikut menorehkan sejarah perjuangan bangsa ini. Inisiasi mereka telah melahirkan kuncup peradaban bangsa yang nantinya diharapkan terus berkembang lewat tangan dan pemikiran kaum muda ini.

Gerakan Mahasiswa Dulu dan Kini : Transformasi

Pergerakan mahasiswa lain dulu lain sekarang. Tantangan dan peluang yang dihadapi pun berbeda. Antara kolonialisasi dan globalisasi. Setiap masa memiliki zamannya masing-masing. Setiap masa memiliki sarana pembelajaran dan aktualisasi masing-masing. Setiap masa memiliki cara menjawab tantangan zaman dan masa depan. Oleh karena itu jelas pergerakan mahasiswa per-masa-nya pasti akan berbeda

Kita mengenal gerakan mahasiswa harus berlandas pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka haruslah perguruan tinggi bertugas untuk menanamkan nilai-nilai Tri Dharma tersebut. Secara substantif, keberadaan mahasiswa di perguruan tinggi tak terlepas dari peran perubahan yang dimiliki oleh setiap perguruan tinggi. Dalam perspektif tertentu, mahasiswa juga merupakan aset masa depan sebuah bangsa, karena mereka adalah kelompok minoritas dari masyarakatnya yang terpelajar. Dengan demikian, mahasiswa secara mitos selalu diagungkan sebagai calon-calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang. Namun, sejauh mana relevansi dari asumsi tersebut dengan realitas yang ada?

Kenyataan menunjukkan bahwa mahasiswa adalah bagian dari mereka yang juga menjadi masalah dari bangsa ini. Ketidakmampuan perguruan tinggi membangun kapasitas keilmuan yang secara kritis mampu memberikan banyak perspektif epistemis, juga berpengaruh pada kualitas mahasiswa yang dihasilkannya. Perguruan tinggi hanya sekedar menjadi mesin/pabrik yang melahirkan produk massal yang bernama sarjana, yang bahan mentahnya adalah mahasiswa. Perguruan tinggi juga hanya menjadi konsumen yang mengikuti selera pasar dalam melahirkan produk-produknya. Dalam konteks lain, perguruan tinggi kemudian menjadi kelompok oportunis yang dibungkus oleh legitimasi ilmiah yang demikian canggih.

Keadaan ini membawa konsekuensi pada tidak adanya hubungan yang baik antara gerakan pemikiran kritis di satu sisi, dengan kecenderungan perkembangan perguruan tinggi yang mengarah pada pemikiran dominan (neoliberalisme) di sisi lain. Pada titik inilah sebenarnya terjadi benturan yang sangat berat di internal sebuah perguruan tinggi, yang secara langsung mempengaruhi cara berpikir mahasiswanya. Akibatnya, mayoritas mahasiswa adalah mereka yang tidak kreatif, tidak inovatif, tidak kritis, serta tidak mempunyai visi perubahan secara esoterik dalam memandang masa depan masyarakatnya. Dampak negatif dari globalisasi yang merasuki segala bidang kehidupan masyarakat.

Kondisi ini secara langsung maupun tidak langsung berakibat pada dinamika gerakan mahasiswa yang terbangun dari dalam kampus. Terkadang kita hanya bisa mengurut dada tatkala melihat mayoritas mahasiswa yang apatis, hedonis, dan tidak peduli dengan lingkungannya. Sementara di pihak lain kita juga bisa menemukan sedikit mahasiswa yang kritis, yang dengan kembang kempis mencoba melakukan sesuatu untuk perubahan masyarakatnya. Ironis! Padahal harusnya pada zaman sekarang ini yang mengusung tema globalisasi di mana-mana, mahasiswa harusnya menjadi subjek penilai terhadap keberjalanan proses ini, bukannya turut menjadi objek. Jelas ini menimbulkan masalah.

Gerakan mahasiswa yang dibangun saat ini dengan memakai metode pergerakan masa lalu dinilai tidak memberikan perkembangan berarti dalam merumuskan kembali peradaban bangsa. Metode-metode konvensional seperti aksi (demonstrasi) sayangnya menjadi sebuah tindakan yang terlalu reaktif, dan dianggap sebagai metode satu-satunya. Maka apabila kita lihat metode pergerakan masa kini dan masa lalu sebenarnya tidaklah jauh berbeda, sayang sekali hasilnya sangat berbeda jauh. Pemerintah kini tidak lagi khawatir dengan yang namanya aksi, masyarakat kini telah menganggap itu hanya ritual kemahasiswaan saja. Ditambah lagi dari keapatisan mahasiswa. Ketidakberlanjutannya mereka dalam menjaga komitmen mereka untuk bergerak. Mereka memang selalu ikut ambil bagian dalam tiap-tiap aksi, akan tetapi setelah itu kemudian mereka malas-malasan, tidak mau serius belajar, tidak mau serius berfikir, tidak mau serius berencana dan tidak mau serius berdiskusi bagaimana caranya menawarkan solusi dalam setiap permasalahan yang dihadapi. Parahnya lagi di antara mereka banyak yang berkoar-koar mengenai fasilitas rakyat, ia sendiri yang malah menggunakan fasilitas rakyat itu dengan tidak bertanggung jawab. Maka metode yang dibangun masa kini haruslah menjadi tinjauan ulang yang harus dirumuskan oleh mahasiswa dalam setiap gerakannya. Karena hakikat gerakan itu adalah memberikan pengaruh. Apalagi dalam menghadapi era globalisasi yang sangat kompleks. Agaknya persoalan gerakan harus memiliki dasar dan pedoman yang harus diemban oleh setiap mahasiswa yang masih memiliki kepedulian dalam hatinya.

Maka dari itu idealnya, gerakan, sebagai sebuah proses untuk menumbuhkan sense of leadership mahasiswa diperlukan transformasi. Arti transformasi di sini bukan berarti mereduksi semua metode gerakan kemahasiswaan yang dulu sudah berkembang, akan tetapi lebih dikaitkan pada persoalan atau permasalahan yang menjadi dampak negatif dari globalisasi. Misalnya kebutuhan akan pangan, kerusakan lingkungan, kelaparan, kebutuhan akan energi dan teknologi tepat guna, permasalahan sosial kemasyarakatan, dan lain sebagainya.

Transformasi gerakan mahasiswa yang dibangun untuk masa depan harus memenuhi irisan antar beberapa kepentingan oleh setiap pihak. Sifat gerakan yang dibangun idealnya adalah:

Membangun Karakter Kebangsaan.

Menciptakan Pemimpin Masa Depan (Labatorium Kepemimpinan).

Gerakan Konstruktif (keprofesian dan teknologi, Pengabdian Masyarakat, Entrepreneurship).

Kemudian timbul pertanyaan. Siapakah yang akan memainkan peran untuk mengambangkan sifat gerakan tersebut. Sifat gerakan yang pertama yang harus ditampilkan adalah membangun karakter kebangsaan, sekarang ini banyak mahasiswa yang melandasi gerakannya dengan karakter NATO (No Action Talk Only) atau omdo alias omong doang. Inilah sebenarnya kondisi yang memprihatinkan. Perguruan tinggi yang berperan sebagai lembaga yang ikut turut andil dalam penanaman atau pengajaran, haruslah menanamkan pembangunan karakter, agar sifat ini lebih didasari oleh semangat untuk menjaga keutuhan. Untuk menyadari betapa pentingnya kontribusi gerakan terhadap arah membawa bangsa ini selanjutnya. Perguruan tinggi harus mampu mewujudkan karakter itu yang ada pada mahasiswanya. Dengan berlandas pada potensi dasar manusia (fisik, akal, jiwa) metode pembangunan karakter mahasiswa harus terus ditingkatkan agar dia mengerti seberapa penting perannya dalam menyelesaikan permasalahan bangsa. Membangun Karakter Kebangsaan harus terintegrasi ke dalam sebuah sistem tata nilai yang dianut oleh mahasiswa. Nantinya pembangunan karakter ini juga yang akan membentuk pola pikir ilmiah, kritis, idealisme, dan kepeloporan. Pola pikir inilah yang mendasari sebuah gerakan. Gerakan dalam sebuah wujud protes terhadap kondisi sosial yang dinilai tidak adil.

Transformasi gerakan juga harus memunculkan generasi-generasi yang mampu memimpin bangsa ini. Sudah saatnya kaum muda, terutama mahasiswa, mempersiapkan untuk memproyeksikan diri menjadi pemimpin. Mencetak pemimpin muda adalah sebuah urgensi untuk mendinamisasi keberjalanan bangsa ini. Untuk para mahasiswa tempalah diri kalian di berbagai organisasi, baik itu bersifat sosial, politik, ekonomi, pengembangan ilmu pengetahuan, dan lainnya. Organisasi merupakan sarana yang paling tepat dalam mempersiapkan mentalitas kepemimpinan mahasiswa yang nantinya akan menjadi penopang budaya kepemimpinan nasional yang saat ini masih morat-marit dan memalukan. Belajarlah mengenal bidang yang disukai agar dapat memberikan perspektif kritis tentang kepemimpinan (leadership) yang secara visioner mampu merumuskan pola kehidupan bersama yang lebih baik di masa yang akan datang. Ambillah peran strategis yang dapat meningkatkan skill leadership. Dalam menumbuhkan skill leadership, ada beberapa faktor yang dapat menunjang skill tersebut. Pertama, harapan. Harapan adalah matahari di langit jiwa. Tidak ada sesuatu yang sangat dibutuhkan saat reruntuhan kekalahan menghimpit jiwa kita selain dari harapan yang dapat mengembalikan rasa percaya diri untuk bangkit kembali. Di sinilah fungsi seorang pemimpin dan nilai yang dianutnya! Kedua, mengubah diri. Harapan itu menimbulkan tekad untuk mengubah diri, dari hal yang kecil hingga hal yang besar. Menjadi teladan, adalah cara yang efektif dalam mempengaruhi orang. Ketiga, mencari visi terhadap perubahan. Para penggerak tidak bisa bekerja tanpa perencanaan, mereka butuh planning untuk memelihara semangat gerakannya. Pun ketika ia tidak menemukan orang yang dicari, ia akan membuatnya sebelum energinya habis. Maka dari itu risaulah terhadap penyakit-penyakit yang menyerang bangsamu hari ini. Buatlah kegelisahan hati dengan membaca koran, berita, dan media-media tentang bangsa ini. Bukalah mata atas penjajahan asing atas sumber daya alam Indonesia yang sudah semakin menipis. Kemudian berpikir untuk menjadi pembuat kebijakan strategis di negeri ini. Bangkitkanlah negeri ini ketika kau menjadi pemimpin nanti. Lawanlah semua ekses negatif globalisme. Tumbuhkanlah dalam diri kita keberanian menentang tirani. Serta ingatlah bahwa transformasi gerakan ini harus memunculkan hasil yang signifikan bagi bangsa ini.

Constructive Movement : The Real Transformation Movement

Transformasi gerakan yang ketiga merupakan wujud konkret gerakan yang bersifat pengabdian dan tentunya akan mengarahkan bangsa ini pada kemakmuran dan mungkin kesejahteraan. Dengan gerakan konstruktif yang terdiri dari pengembangan keprofesian mahasiswa dan penerapan teknologi, pengabdian masyarakat, dan kegiatan berwirausaha, diharapkan peran serta kepemimpinan mahasiswa sebagai kaum muda dalam perannya sebagai agent of change, guardian of value dan iron stock menjadi solusi terhadap permasalahan bangsa.

Dengan pengembangan keprofesian dan teknologi yang menjadi inti pengetahuan mahasiswa, diharapkan dapat mengaplikasikan apa yang dipelajarinya di bangku sekolah untuk diabdikan terhadap masyarakat dan bangsa. Metode yang dilakukan adalah dengan sedikit menggeser minat kita terhadap hal yang lebih luas kepada kegiatan-kegiatan penelitian dan keprofesian. Harus ditanamkan kesadaran dalam benak mahasiswa bahwa mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan di bangku kuliah merupakan tanggung jawab moral yang harus dipenuhi. Didasari oleh permasalahan bangsa yang terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi maka mahasiswa berkesempatan untuk ambil peran dalam penyelesaian masalah tersebut. Misalnya teknologi dalam pemanfaatan energi untuk listrik, teknologi dalam mengelola lingkungan, teknologi informasi dan komunikasi, teknologi ketahanan pangan dan banyak lagi teknologi yang dalam perspektif pengajaran di perguruan tinggi bisa dikembangkan lebih lanjut untuk kemanfaatan masyarakat dan bangsa ini. Bukan hal yang tidak mungkin mahasiswa melakukan itu dan banyak sarana serta wadah untuk menampung kreativitas mahasiswa dalam mengembangkan keprofesiannya untuk kegunaan. Di antara ada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS), Kontes Robot Cerdas Indonesia (KRCI), serta masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang telah banyak melahirkan karya nyata sebagai kreativitas intelektual mahasiswa. Semua karya nyata tersebut tentunya dilandasi atas dasar wujud kontribusi mahasiswa terhadap bangsa.

Jikalau karya nyata itu telah banyak dan termanfaatkan dengan baik, maka perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia akan lebih maju. Dengan Iptek yang maju bukan tidak mungkin bangsa ini menjadi bangsa yang terpandang di dunia internasinal. Semua itu akan menjadi cita-cita besar mahasiswa untuk bangsa.

Mahasiswa pun harus bergerak dalam konteks yang lebih real lagi selain mengembangkan keprofesiannya. Keprofesian itu akan lebih terdayagunakan apabila mampu diimplementasikan dalam kegiatan yang bersifat pengabdian. Hal ini merupakan cerminan dari tri dharma perguruan tinggi. Misalnya mengadakan kegiatan Bina Desa atau terlibat dalam mitigasi bencana alam ataupun pelestarian lingkungan. Bahkan kalaupun di lingkungan sekitarnya ada kegiatan kerja bakti dan mahasiswa mengikuti kegiatan tersebut, maka itu adalah wujud kontribusi yang riil walaupun kecil, tapi mungkin demikian berarti bagi masyarakat di sekitarnya. Sekali lagi kegiatan tersebut harus dilandasi dengan kesadaran tanggung jawab mahasiswa sebagian bagian dari masyarakat.

Efektivitas keilmuan dan latar belakang ilmu akan lebih bermanfaat lagi apabila melibatkan banyak pihak, baik orang lain maupun dirinya sendiri. Dengan melahirkan semangat wirausaha serta upaya untuk mengimplementasikannya akan sangat berguna setidaknya bagi mahasiswa itu sendiri. Setidaknya ia tak akan menambah beban pengangguran yang menjadi salah satu masalah bangsa saat ini. Ia juga membantu pemerintah dalam membuka lapangan kerja baru. Berwirausaha merupakan sebuah wujud gerakan mahasiswa dalam sisi yang mungkin tidak terpikirkan selama ini. Setidaknya negeri ini membutuhkan orang yang berjiwa entrepreneur lima persen setiap tahunnya (ITB dan Manusia ITB untuk Indonesia Incorporated, Cardiyan HIS, President & CEO PT. SWI Group, Jakarta). Peluang mahasiswa dalam menumbuhkan dan menularkan semangat wirausaha sekarang ini sangat terbuka lebar. Asalkan memiliki keteguhan dan kesungguhan untuk berusaha mandiri.

Semua wujud transformasi gerakan tersebut semakin membuka penempatan peran serta kemampuan kepemimpinan mahasiswa sebagai generasi muda untuk turut ambil bagian dalam penyelesaian masalah bangsa. Ikhtiar yang dilakukan mudah-mudahan dicatat sebagai langkah revolusioner untuk mewujudkan tatanan bangsa Indonesia yang madani, adil, makmur, dan berkesejahteraan. Konsep berpikir dalam mewujudkan gerakan-gerakan yang disebutkan di atas sebenarnya masih menggunakan metode bagaimana mahasiswa masa lalu berpikir akan realita bangsa, akan tetapi dengan implementasi gerakan yang berbeda.

Refleksi kepemimpinan mahasiswa dalam memimpin transformasi gerakan ini harus dilakukan dengan semangat penyadaran akan realita masyarakat dan bangsa, menumbuhkan kepedulian yang murni, dan semangat integritas serta pembelajaran yang dimaknai sebagai pemicu semangat untuk berkontribusi. Kritis, ilmiah, pelopor, inisiatif, dinamis, serta kata-kata lainnya yang merupakan sikap dan sifat yang harus disandang oleh mahasiswa di zaman ini. Ingatlah bahwa bangsa ini merindukan putra-putrinya untuk memimpin. Untuk membawa perubahan ke arah yang lebih baik dalam membangun peradaban bangsa.

Kesadaran adalah matahari

Kesabaran adalah bumi

Keberanian menjadi Cakrawala

Dan Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

-WS Rendra-

Senin, 25 Oktober 2010

PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN DI PERGURUAN TINGGI MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 155 /U/1998
TENTANG
PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN DI PERGURUAN TINGGI MENTERI
PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
Menimbang

a. bahwa pendidikan nasional telah mengalami perkembangan yang memerlukan penyesuaian
dan pemantapan baik dalam hal kebijaksanaan maupun tatanannya;
b. bahwa pengembangan kehidupan kemahasiswaan adalah bagian integral dalam sistem
pendidikan nasional sebagai kelengkapan kegiatan kurikuler;
c. bahwa organisasi kemahasiswaan perlu ditingkatkan peranannya sebagai perangkat
perguruan tinggi dan sebagai warga sivitas akademika;
d. bahwa pengembangan organisasi kemahasiswaan perlu disesuaikan dengan pelaksanaan
reformasi di bidang pendidikan tinggi dan tuntutan globalisasi pada masa mendatang;
e. bahwa sesuai dengan butir a, b, c, dan d dipandang perlu menetapkan pedoman umum
organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi;
Mengingat
1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi beserta
perubahannya;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan
KEPUTUSAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
TENTANG PEDOMAN UMUM ORGANISASI KEMAHASISWAAN
DI PERGURUAN TINGGI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan
1. Organisasi kemahasiswaan intra. perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan
diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta
integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi.
2. Tujuan pendidikan tinggi adalah :
a. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik
dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian.
b. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetatman, teknologi dan/atau kesenian
serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan tarap kehidupan masyarakat dan
memperkaya kebudayaan nasional. 3. Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi adalah wahana dan sarana pengembangan
diri mahasiswa untuk menanamkan sikap ilmiah, pemahaman tentang arah profesi dan
sekaligus meningkatkan kerjasama, serta menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan.
4. Kegiatan kurikuler adalah kegiatan akademik yang meliputi : kuliah, pertemuan kelompok
kecil (seminar, diskusi, responsi), bimbingan penelitian, praktikum, tugas mandiri, belajar
mandiri, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (kuliah kerja nyata, kuliah kerja
lapangan dan sebagainya).
5. Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan kemahasiswaan yang meliputi: penalaran dan
keilmuan, minat dan kegemaran, upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan bakti sosial
bagi masyarakat.
Pasal 2
Organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi diselenggarakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan
untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan lebih besar kepada mahasiswa.
BAB II
BENTUK ORGANISASI KEMAHASISWAAN
Pasal 3
1. Di setiap perguruan tinggi terdapat satu organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi
yang menaungi semua aktivitas kemahasiswaan.
2. Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi dibentuk pada tingkat perguruan tinggi,
fakultas dan jurusan.
3. Bentuk dan badan kelengkapan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi ditetapkan
berdasarkan kesepakatan antar mahasiswa, tidak bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku, dan statuta perguruan tinggi yang bersangkutan.
4. Organisasi kemahasiswaan pada sekolah tinggi, politeknik, dan akademi menyesuaikan
dengan bentuk kelembagaannya.
5. Organisasi kemahasiswaan antar perguruan tinggi yang sejenis menyesuaikan dengan bentuk
kelembagaannya.
BAB III
KEDUDUKAN, FUNGSI DAN TANGGUNGJAWAB
Pasal 4
Kedudukan organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi merupakan kelengkapan non struktural
pada organisasi perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 5
Organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi mempunyai fungsi sebagai sarana dan wadah:
1. perwakilan mahasiswa tingkat perguruan tinggi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi
mahasiswa, menetapkan garis-garis besar program dan kegiatan kemahasiswaan;
2. pelaksanaan kegiatan kemahasiswaan;
3. komunikasi antar mahasiswa;
4. pengembangan potensi jatidiri mahasiswa sebagai insan akademis, calon ilmuwan dan
intelektual yang berguna di masa depan;
5. pengembangan pelatihan keterampilan organisasi, manajemen dan kepemimpinan
mahasiswa;
6. pembinaan dan pengembangan kader-kader bangsa yang berpotensi dalam melanjutkan
kesinambungan pembangunan nasional;
7. untuk memelihara dan mengembangkan ilmu dan teknologi yang dilandasi oleh norma-norma
agama, akademis, etika, moral, dan wawasan kebangsaan. Pasal 6
Derajat kebebasan dan mekanisme tanggungjawab organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi
terhadap perguruan tinggi ditetapkan melalui kesepakatan antara mahasiswa dengan pimpinan
perguruan tinggi dengan tetap berpedoman bahwa pimpinan perguruan tinggi merupakan
penanggungjawab segala kegiatan di perguruan tinggi dan/atau yang mengatasnamakan perguruan
tinggi.
BAB IV
KEPENGURUSAN, KEANGGOTAAN DAN MASA BAKTI
Pasal 7
1. Pengurus organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi pada masing-masing tingkat
sekurang-kurangnya terdiri atas ketua umum, sekretaris dan anggota pengurus.
2. Pengurus ditetapkan melalui pemilihan yang tatacara dan mekanismenya ditetapkan oleh
mahasiswa perguruan tinggi yang bersangkutan.
Pasal 8
Keanggotaan organisasi kemahasiswaan pada masing-masing tingkat adalah seluruh mahasiswa yang
terdaftar dan masih aktif dalam kegiatan akademik.
Pasal 9
Masa bakti pengurus organisasi kemahasiswaan maksimal 1 (satu) tahun dan khusus untuk ketua
umum tidak dapat dipilih kembali.
BAB V
PEMBIAYAAN
Pasal 10
1. Pembiayaan untuk kegiatan organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi dibebankan pada
anggaran perguruan tinggi yang bersangkutan dan/atau usaha lain seijin pimpinan perguruan
tinggi dan dipertanggungiawabkan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
2. Penggunaan dana dalam kegiatan kemahasiswaan harus dapat dipertanggungjawabkan
akuntabilitasnya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
Semua organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi yang telah ada pada saat ditetapkannya
Keputusan ini agar menyesuaikan dengan Keputusan ini.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor
0457/0/1990 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi dinyatakan
tidak berlaku. Pasal 13
Petunjuk teknis pelaksanaan Keputusan ini ditetapkan oleh pimpinan perguruan tinggi yang
bersangkutan.
Pasal 14
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 Juni 1998
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
ttd.
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, M.A.
SALINAN Keputusan ini disampaikan kepada
1. Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
2. Inspektur Jenderal Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
4. Kepala Badan Penelitian dan. Pengembangan Pendidikan. dan Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
5. Sekretaris Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, dan Badan
Penelitian. dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan di lingkungan Departemen
Pendidikan dan. Kebudayaan,
6. Semua Rektor universitas/institut, Ketua sekolah tinggi, Direktur politeknik/akademi di
lingkungan Departemen Pendidikan dan. Kebudayaan,
7. Semua Koordinator Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta,
8. Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara,
9. Badan Pemeriksa Keuangan,
10. Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan,
11. Komisi VII DPR-RI.