Program Kerja Terdekat BEM POLSRI 2010-2011


1. Sosialisasi Undang-undang Tata Tertib Lalu Lintas
2. Peringatan Hari Ibu Ke Panti Jompo dan Aksi
3. Penanaman Pohon

Waktu Pelaksanaan: 21, 22 dan 29 Desember 2010
Tempat: Aula KPA POLSRI, Panti Jompo dan Jaka Baring Palembang

Sosialisasi Ke Jurusan akan dimulai Hari Kamis 22 Desember 2010

Senin, 25 Oktober 2010

Membaca Kritis "Doktrin Natalegawa"


**POLITIK luar negeri Indonesia era Marty Natalegawa memunculkan sebuah perspektif baru yang khas: ”doktrin natalegawa”. Pada intinya, doktrin ini menekankan politik luar negeri RI di antara keseimbangan dinamis (dynamic equilibrium), serta menganggap bahwa polaritas kekuatan telah tersebar dan memungkinkan kerjasama antarnegara (Kompas, 5/5).

“Keseimbangan Dinamis”

Doktrin Natalegawa –seperti disebut oleh Rene Pattiradjawane, wartawan Kompas— berkeyakinan bahwa politik internasional berada dalam kondisi “keseimbangan dinamis” dan “perdamaian dingin”. Artinya, polaritas yang menjadi karakter utama politik internasional pasca-perang dingin diyakini mengalami pergeseran-pergeseran.

Menurut Pattiradjawane, Amerika Serikat yang menjadi “pemenang” dari perang dingin ternyata tidak serta-merta menjadi hegemoni tunggal dalam politik internasional. Munculnya blok ekonomi baru seperti BRIC (Brazil-Rusia-India-China) serta adanya kekuatan-kekuatan tandingan Amerika Serikat macam Iran atau Venezuela memperlihatkan fakta tersebut.

Kondisi keseimbangan dinamis juga memandang adanya posisi setara antara negara-negara “selatan” untuk bekerjasama secara damai dan “mutual” tanpa harus tergantung dengan hegemoni. Implikasinya, politik luar negeri harus menjangkau potensi-potensi kekuatan pada kekuatan “selatan-selatan” tanpa harus menafikan adanya kekuatan “utara”. Hal ini tercermin dari arah kebijakan luar negeri RI.

Doktrin ini juga memandang bahwa dunia mengalami kondisi cold peace (perdamaian dingin). Kekuatan-kekuatan lama sisa perang dingin masih eksis, tetapi muncul kekuatan lain yang tak dapat diremehkan. Relasi antara kekuatan-kekuatan tersebut tidak konfliktual seperti zaman dulu, melainkan kompetitif, dinamis, dan berkisar pada soal-soal nonpolitik.

Apalagi, paradigma mengenai keamanan juga telah bergeser seiring dengan pluralisme aktor dalam hubungan internasional. Jika dulu keamanan didefinisikan sebagai keamanan negara yang mengandalkan senjata dan kekuatan militer, saat ini keamanan diterjemahkan sebagai human security atau keamanan warga sipil dalam menghadapi bahaya epidemi, kemiskinan, terorisme, kelangkaan pangan, dll.

Sehingga, dengan pandangan seperti ini, peluang kerjasama terbuka lebar. Menlu Natalegawa meresponsnya dengan pendekatan regionalisme. Artinya, kerjasama kawasan mesti ditingkatkan, baik di level ASEAN, ASEAN+3 (Asia Timur), atau Asia-Pasifik.

Terlebih lagi, era perdagangan bebas kawasan sudah di depan mata. Dengan konsep keseimbangan dinamis, perdamaian dingin, regionalisme, dan tantangan globalisasi ke depan, doktrin natalegawa hadir sebagai pengarah kebijakan luar negeri Indonesia.

Revitalisasi “Doktrin Hatta”?

Sebetulnya, “ijtihad” politik luar negeri yang diambil oleh Menlu Natalegawa tersebut selangkah lebih maju dari apa yang selama ini kita kenal sebagai “Doktrin Hatta”. Sejak 1945, kita sudah mengenal politik luar negeri “bebas aktif” sebagai doktrin baku.

Hatta merancangnya dengan sebuah pidato berjudul “Mendayung Di Antara Dua Karang” dan selama bertahun-tahun dipegang oleh pengambil kebijakan luar negeri kita. Dalam doktrin Hatta, posisi Indonesia adalah bebas dari konflik dua kekuatan utama –pada waktu itu Uni Sovyet dan Amerika Serikat— tetapi aktif dalam memperjuangkan perdamaian dunia. Doktrin tersebut dinomenklaturkan dalam pembukaan UUD 1945.

Selama bertahun-tahun pula, banyak yang salah mengartikan doktrin politik luar negeri tersebut dengan “politik luar negeri netral”. Sehingga, Indonesia sering tidak memiliki posisi yang jelas dalam hubungan internasional. Soekarno justru melanggar doktrinini dengan membuat poros Jakarta-Peking. Padahal, kata “bebas” diikuti oleh kata “aktif” sebagai penjelas, yang berarti Indonesia mesti memainkan posisi untuk perdamaian dunia tanpa ditumpangi negara-negara besar (great powers).

Pasca-perang dingin, doktrin tersebut menimbulkan pertanyaan kritis lain. Dengan absurdnya polaritas kekuatan yang jelas –dengan runtuhnya Uni Sovyet— bagaimana sejatinya posisi Indonesia? Pada titik inilah doktrin tersebut problematis.

Publik dihadapkan pada persoalan klasik seperti hubungan dengan Amerika Serikat atau perdagangan pesawat tempur dengan Rusia. Oleh karena itu, doktrin politik luar negeri baru yang lebih kontekstual dan mengejawantahkan doktrin sebelumnya dalam posisi baru sangat diperlukan. Doktrin Natalegawa kiranya dapat menjawab tantangan ini.

Kritik Konstruktif

Akan tetapi, tentu saja doktrin natalegawa tersebut tak lepas dari kritik. Dengan pandangannya mengenai keseimbangan dinamis dan perdamaian dingin, kita akan masuk pada pertanyaan: bagaimana bersikap di antara kompetisi antara kekuatan-kekuatan baru?

Masuknya Indonesia di G-20, sebuah negara-negara maju, tentu memiliki prestasi sendiri. Akan tetapi, posisi tersebut akan dihadapkan pada kepentingan nasional. Pada prinsipnya, ada tiga dimensi kepentingan nasional, yaitu kesejahteraan, pencerdasan bangsa, dan ketertiban dunia. Dengan kepentingan nasional tersebut, pemerintah harus pula menyeimbangkan politik luar negeri dengan kepentingan masyarakat luas.

Klaim diplomasi total –dengan mengikutsertakan seluruh stakeholders sebagai konstituen diplomasi— yang sering digaungkan oleh pemerintah sering menuai kritik karena dinilai tak tampak wujudnya. Padahal, visi tersebut penting agar masyarakat mengetahui keberhasilan diplomasi yang telah dilakukan.

Selain itu, kritik juga muncul pada sikap istana dalam merespons masalah-masalah internaional. Presiden Yudhoyono masih konsisten dengan semangat “zero enemy, million friends”, seperti tercermin dalam pidato-pidato kenegaraan dan sikapnya dalam merespons konflik perbatasan. Beberapa pihak mengkritik sikap ini karena dinilai pragmatis.

Jika dibandingkan, doktrin natalegawa dan sikap istana tersebut akan mengalami sedikit ambiguitas. Keseimbangan dinamis dibangun melalui penguatan kerjasama kawasan. Artinya, basis pengambilan kebijakan ditekankan pada bentukan regionalisme yang dibuat. Konflik antartetangga mesti segera diselesaikan karena kontraproduktif dengan kerjasama kawasan. Kritiknya, presiden terlalu terpaku pada citra dan semangat “zero enemy, million friends” sehingga bingung menempatkan posisi.

Tentu saja, akan terlalu prematur jika kita mengambil penilaian atas doktrin baru dalam politik luar negeri RI ini. Akan tetapi, kritik yang konstruktif perlu dibangun dan pengawasan publik perlu diperkuat, agar sesuai dengan kerangka diplomasi total yang ingin dibangun pemerintah. Semoga doktrin Natalegawa dapat menjawanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar