Program Kerja Terdekat BEM POLSRI 2010-2011


1. Sosialisasi Undang-undang Tata Tertib Lalu Lintas
2. Peringatan Hari Ibu Ke Panti Jompo dan Aksi
3. Penanaman Pohon

Waktu Pelaksanaan: 21, 22 dan 29 Desember 2010
Tempat: Aula KPA POLSRI, Panti Jompo dan Jaka Baring Palembang

Sosialisasi Ke Jurusan akan dimulai Hari Kamis 22 Desember 2010

Minggu, 02 Januari 2011

Apatisme Politik Mahasiswa

PREDIKAT mahasiswa sungguh mengagumkan. Ia memiliki posisi strategis dalam strata sosial. Mahasiswa memiliki peran signifikan dalam menentukan arah bangsa. Sebagai representasi masyarakat bawah, mahasiswa senantiasa memperjuangkan demokrasi dan menjadi oposisi bagi kebijakan pemerintah yang tak memihak rakyat.
Segala kejanggalan, pelanggaran, dan ketidakadilan adalah ranah yang senantiasa didobrak mahasiswa. Segala bentuk perlawanan mahasiswa lebih untuk mengoreksi dan mengontrol perilaku politik penguasa yang menyimpang. Karena itulah, peranan mahasiswa urgen di tengah masyarakat.

Sejarah perjalanan bangsa mencatat hamper sebagian besar perubahan sosial dipicu dan dipelopori mahasiswa. Gerakan mahasiswa tahun 1998, misalnya, merupakan salah satu pendobrak bagi kebebasan sipil politik yang tersandera selama 32 tahun sekaligus menjadi salah satu penentu fondasi demokrasi di Indonesia.

Berbagai persoalan yang melilit bangsa saat itu mendorong mahasiswa untuk melakukan usaha perubahan sosial. Mahasiswa menjadi ”panglima” di garda depan dalam memerangi rezim Orde Baru. Hasilnya, dinasti yang selama tiga dasawarsa hampir tak tergoyahkan itu pun tumbang.

Spirit yang menjunjung tingi idealisme dapat menyatupadukan berbagai elemen masyarakat dalam satu visi reformasi. Membentuk tatanan baru yang memberi harapan bagi rakyat untuk bisa merasakan udara segar kebebasan dan menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara lebih baik. Mahasiswa berhasil membangun kesadaran kolektif pada masyarakat untuk membentuk satu lapisan kekuatan. Momen itu kemudian berkembang menjadi gerakan bersama menuntut perubahan di segala lini, khususnya pemerintahan. Kekuatan mahasiswa paling ditakuti saat itu.

Namun kita tidak perlu bernostalgia dalam romantisme sejarah. Prestasi yang ditorehkan mahasiswa itu adalah milik dan hasil perjuangan mereka. Patutkah kita berbagga atas predikat director of change? Ah, itu hanya gelar nenek moyang kita yang diraih dengan keringat darah dan air mata. Bukan lagi kita, saat ini, jika tak mampu melakukan perubahan sosial di tengah masyarakat.

Mahasiswa kini tak lagi bertaring. Gerakannya ”melempem”. Gaung suara mahasiswa tak lagi nyaring dan hanya menyisakan bisikan yang nyaris tak terdengar di telinga penguasa. Peranan mahasiswa mandul dalam mengawal demokrasi dan menjadi oposisi kebijakan pemerintah yang tidak prorakyat. Sebagai perpanjangan aspirasi rakyat, mahasiswa gagal mempertahankan kredibilitas. Sebaliknya, stigma yang kian lekat menimbulkan krisis kepercayaan di mata masyarakat.
Kondisi Parah Dilihat dari kompleksitas permasalahan, kondisi Tanah Air saat ini tak sama parah dengan kondisi 1998. Pelanggaran hak asasi manusia, pelecehan demokrasi, ketidakadilan, korupsi, dan berbagai bentuk ketimpangan lain tak mampu menggerakkan nurani mahasiswa untuk sadar dan melakukan usaha konkret: mengadakan perubahan sosial.

Di manakah gerangan mahasiswa tatkala rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok mahal, biaya pendidikan melambung, dan warga menjadi korban ledakan gas subsidi pemerintah? Di mana mahasiswa, saat hukum suci negara dipermainkan dan digadaikan dengan uang korupsi? Di mana ”aktor lakon” mahasiswa tatkala drama teaterikal Century diputar? Mereka hanya menjadi penonton yang ”duduk manis” di depan layar, menyaksikan ”tragedi rakyat Indonesia”.

Dalam merespons persoalan bangsa yang kronis saat ini, mahasiswa cenderung apatis. Bahkan berkesan ”adem ayem”. Apatisme mahasiswa ditandai dengan keminiman aksi dan reaksi terhadap kebijakan pemerintah yang menyeleweng. Suara mahasiswa masih terdengar sayup. Kalaupun ada, aksi itu lebih bersifat sektarian dan sporadis sehingga mental dan tak berarti apa-apa. Atau, ada aksi jika ada kepentingan elite politik yang menunggangi. Idealisme digadaikan, kepentingan rakyat dikorbankan. Kenyataan itu membuat mahasiswa makin kehilangan arah dan mengalami disorientasi.

Kini saatnya mahasiswa dibangunkan. Terlalu lama mereka tertidur sehingga tak bisa menyaksikan kenyataan. Buka mata, lebarkan telinga, dan bersuara agar mampu menangkap dan merespons beragam fenomena ganjil di negeri ini. Spirit yang melesu perlu digairahkan kembali. Mahasiswa harus menemukan jati diri kembali. Menjunjung idealisme, membentuk kesadaran kolektif, membangun opini publik untuk bersatu padu menjadi mesin oposisi yang kuat bagi kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat. (51)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar